FILSAFAT
PENDIDIKAN MATEMATIKA
Penjelasan
Filosofis terhadap beberapa Objek dan Fenomena Matematika
serta Identifikasi Persoalan Filosofis
Pembelajaran Matematika di Sekolah
Diajukan
kepada Prof. Dr. Marsigit , M. A.
untuk
Memenuhi Tugas Filsafat Ilmu
Oleh
Lovie
Adikayanti
NIM
19709251068
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
A.
OBJEK FILSAFAT MATEMATIKA
Proses belajar mengajar adalah proses dimana peserta didik
sebagai objek pendidikan membangun pengetahuan dan ilmu pengetahuan mereka.
Membangun pengetahuan dapat dimulai dari yang ada dan yang mungkin ada. Membangun
pengetahuan secara filsafat dapat dilakukan dengan mengidentifikasi sifat satu,
dua, tiga, atau, empat …dst meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Karena yang
akan dilakukan adalah membangun ilmu atau ilmu pengetahuan secara filsafat,
maka identifikasi dari sifat-sifat yang ada dan yang mungkin ada juga ditinjau
secara filsafati. Sifat-sifat filsafati adalah sifat-sifat yang dipikirkan atau
pernah dipikirkan atau digunakan atau pernah digunakan oleh para Filsuf.
Setiap yang ada
mempunyai sifat, artinya jika ditinjau dari struktur Bahasa, maka yang ada itu
berkedudukan sebagai Subjek atau Objek, sedang semua sifat-sifatnya
berkedudukan sebagai Objek atau secara khusus disebut Predikat. Objek mempunyai
Predikat, karena setiap Objek mempunyai sifat. Menurut Immanuel Kant, seorang filsuf bangsa Prusia (abad 15), secara
pengetahuan atau ilmu pengetahuan atau secara pikir atau secara filsafat, maka
di dunia ini hanya ada 2 (dua) prinsip yaitu prinsip Identitas dan prinsip
Kontradiksi. Prinsip Identitas ialah keadaan tercapainya A=A, atau Aku = Aku,
atau I = I …dst. Ternyata, dikarenakan Filsafat itu adalah sensitif terhadap
Ruang dan Waktu, maka selama aku di Dunia, aku tidak pernah mengalami keadaan
Identitas. Keadaan Identitas hanyalah terjadi di dalam pikiran kita, atau kalau
kita mengandaikan atau kalau kita sudah sampai di akhirat.
Ahli belajar (learning theorist) Gagne telah membagi
objek-objek matematika, yaitu materi yang dipelajari siswa menjadi objek
langsung dan objek tak langsung. Objek langsungnya adalah fakta, konsep,
prinsip, dan keterampilan (FKPK).
1.
Objek Matematika Berupa Fakta
Fakta adalah konvensi (kesepakatan) dalam
matematika seperti lambang, notasi, ataupun aturan seperti 5 + 2 × 10 = 5 + 20,
di mana operasi perkalian didahulukan dari operasi penjumlahan. Jadi tidak
benar bahwa 5 + 2 ×10 = 7 × 10. Lambang “1” untuk menyatakan banyaknya sesuatu yang
tunggal merupakan contoh dari fakta. Begitu juga lambang “+”, “–“, ataupun ”×”
untuk operasi penjumlahan, pengurangan, ataupun perkalian.
2. Objek
Matematika Berupa Konsep
Konsep adalah suatu ide abstrak yang
memungkinkan seseorang untuk mengklasifikasi suatu objek dan menerangkan apakah
objek tersebut merupakan contoh atau bukan contoh dari ide abstrak tersebut.
Seorang siswa disebut telah mempelajari konsep segitiga jika ia telah dapat
membedakan yang termasuk segitiga dari yang bukan segitiga.
Ada empat cara
mengajarkan konsep, yaitu:
a. Dengan
cara membandingkan obyek matematika yang termasuk konsep danyang tidak termasuk
konsep. Sebagai contoh, ketika membahas pengertian segitiga siku-siku, seorang
guru dapat memaparkan gambar bangun datar yang merupakan segitiga siku-siku dan
yang bukan segitiga siku-siku
b. Pendekatan
deduktif, dimana proses pembelajarannya dimulai dari definisi dan diikuti
dengan contoh-contoh dan yang bukan contohnya. Ketika membahas pengertian atau
konsep segitiga siku-siku; seorang guru SD dapat memulai proses pembelajarannya
dengan mengemukakan definisi bahwa: “Segitiga siku-siku adalah suatu segitiga
yang salah satu sudutnya berbentuk siku-siku. Dengan definisi atau pengertian
itu sang guru lalu membahas contoh segitiga siku-siku dan yang bukan segitiga
siku-siku. Hal ini dapat dilakukan dengan tanya jawab, sehingga para siswa
dapat Contoh Segitiga Siku-siku Contoh yang Bukan Segitiga Siku-siku.
c. Pendekatan
induktif, dimulai dari contoh lalu membahas definisinya.
d. Kombinasi
deduktif dan induktif
3. Objek
Matematika Berupa Prinsip
Prinsip
adalah suatu pernyataan yang memuat hubungan antara dua konsep atau lebih.
Contohnya Rumus Luas Segitiga =
Pada rumus luas
segitiga di atas, terdapat beberapa konsep yang digunakan, yaitu konsep luas
(L), konsep panjang alas segitiga (a) dan konsep tinggi segitiga (t). Indikator
atau kriteria unjuk kerja keberhasilan siswa untuk tugas di atas adalah jika ia
dapat mengukur salah satu alas serta tinggi yang bersesuaian dari segitiga
tersebut, dalam hal ini jika ia dapat menentukan panjang AB serta dapat
menentukan garis tinggi CD ke sisi AB; serta dapat menentukan atau menghitung
luasnya berdasar rumus.
4. Objek
Matematika berupa Ketrampilan
Keterampilan
adalah suatu prosedur atau aturan untuk mendapatkan atau memperoleh suatu hasil
tertentu.
B. FENOMENA BELAJAR MATEMATIKA MELALUI
FILSAFAT
Secara ontologi maupun epistemologi, setelah era Kant, matematika telah dikembangkan dengan pendekatan-pendekatan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan Kant. Beberapa penulis berpendapat bahwa Kant berangkat dari filsafat geometri untuk menjembatani ke filsafat aritmetika dan filsafat aljabar. Namun jika disimak lebih lanjut, pandangan-pandangan Kant lebih mendasarkan kepada peran intuisi bagi semua konsep matematika dan hanya mengandalkan konsep konstruksi seperti yang terjadi pada geometri Euclides. Terdapat
pandangan bahwa konstruksi konsep-konsep
keruangan geometri Euclides sebetulnya
mendasarkan kepada “intuisi murni” namun Kant memberi kecenderungan baru tentang pandangan terhadap matematika yang lebih bersifat konstruktif (Palmquist, S.P., 2004).
Menurut Kant (Wilder, R. L. , 1952),
matematika harus dipahamai dan dikonstruksi menggunakan
intuisi murni, yaitu intuisi
“ruang” dan “waktu”. Konsep dan keputusan
matematika yang bersifat “synthetic
a priori” akan menyebabkan ilmu pengetahuan
alam pun menjadi tergantung kepada
matematika dalam menjelaskan dan
memprediksi fenomena alam. Menurutnya,
matematika dapat dipahami melalui “intuisi
penginderaan”, selama hasilnya
dapat disesuaikan dengan
intuisi murni kita.
Matematika khususnya geometri dapat menjadi kenyataan obyektif jika berkaitan dengan obyek-obyek penginderaan. Konsep-konsep geometri tidak hanya dihasilkan oleh intuisi murni, tetapi juga berkaitan dengan konsep ruang di mana obyek-obyek geometri direpresentasikan. Konsep ruang sendiri merupakan bentuk intuisi di mana secara ontologis
hakekat dari representasi
tersebut tidak dapat dilacak. Intuisi
penginderaan sendiri merupakan representasi
yang tergantung dari keberadaan obyek.
Kant (Kant, I, 1783 ), berpendapat
bahwa geometri seharusnya berlandaskan pada intuisi keruangan murni. Jika dari
konsep-konsep geometri kita hilangkan konsep-konsep empiris atau penginderaan,
maka konsep konsep ruang dan waktu masih akan tersisa; yaitu bahwa
konsep-konsep geometri bersifat a priori. Namun Kant menekankan bahwa, seperti
halnya pada matematika pada mumnya, konsep-konsep geometri hanya akan bersifat
“sintetik a priori” jika konsep-konsep itu hanya menunjuk kepada obyek-obyek
yang diinderanya. Jadi di dalam “intuisi empiris” terdapat intuisi ruang dan
waktu yang bersifat a priori.
Berikut
pembuktian dua bangun yang Kongruen menurut Kant:
Menurut Kant, di dalam langkah-langkah membuktikan bahwa 2 bangun geometri adalah kongruen, maka intuisi yang ada haruslah bersifat a priori, dan langkah-langkahnya bersifat sintetik. Jika tidak maka konsep yang diperoleh hanyalah bersifat empiris dan tidak akan diperoleh kepastian apodiktik, yaitu bahwa prosedur pembuktiannya tidak jelas. Sejauh intuisi yang dipahami Kant, ruang hanya mempunyai dimensi 3, karena tidak lebih dari tiga garis dapat berpotongan sehingga ketiga-tiganya membentuk sudut siku-siku.
Menurut Kant, kegiatan menggambar garis lurus yang panjangnya
tak berhingga, hanyalah
merupakan deretan perubahan
yang terjadi dari gerakan dalam ruang,
sehingga hanya bersifat empiris. Oleh
karena itu, Kant menyimpulkan bahwa untuk
memperoleh konsep garis lurus
kita harus menggunakan intuisi
murni yang bersifat a priori.
Dengan demikian, menurut Kant,
geometri merupakan ilmu pengetahuan
yang menentukan sifat-sifat keruangan
secara sintetik namun a priori. Sintetik
berarti bahwa konsep-konsep geometri
tidak dapat dikonstruksi hanya dari konsep
murni saja, tetapi harus
berpijak pada intuisi murni
yang terjadi sebelum mempersepsi
obyek, sehingga intuisinya memang
bersifat murni dan tidak empiris. Menurut
Kant prinsip-prinsip geometri
bersifat apodiktik, yaitu
dapat ditarik secara deduktif
dari premis-premis yang mutlak
benar. Pernyataan “ruang hanya berdimensi
3” tidak dapat dipahami hanya
dengan intuisi empiris. Kant mempunyai argument yang kuat bahwa proposisi-proposisi geometri bersifat sintetik a priori. Menurutnya jika tidak demikian, yaitu jika proposisi geometri hanya bersifat analitik maka geometri tidak mempunyai validitas obyektif, yang berarti geometri hanya bersifat fiksi belaka.
Kant (Shabel, L., 1998) membuat contoh tentang pembuktian teorema jumlah sudut suatu segitiga seperti yang dilakukan oleh
Euclides
Pada segitiga ABC di atas, ruas garis BC
diperpanjang sampai D. Kemudian
buatlah garis CE sejajar BA.
Karena garis AB // CE maka
sudut 1 = sudut 4 dan sudut 2 = sudut
5. Jadi sudut 3 + sudut 4 + sudut 5 = sudut
3 + sudut 1 + sudut 2 = sudut
lurus. Menurut Kant (ibid.),
obyek dari proses pembuktian di
atas adalah segitiga ABC yang diperoleh
berdasar intuisi murni dan a priori.
Proses pembuktian jumlah sudut segitiga
tersebut merupakan contoh konstruksi
murni dari suatu konsep geometri yang bersifat
sintetik a priori dan
menghasilkan kebenaran universal bahwa jumlah dari besar sudut pada segitiga adalah sudut lurus.
Menurut Kant pembuktian di atas tidaklah bersifat empiris. Oleh karena itu Kant (ibid.) berpendapat bahwa landasan geometri adalah intuisi keruangan kita yaitu
intuisi yang bersifat sintetik
apriori. Dalam karyanya, Prolegomena,
Kant menggambarkan penyimpulan geometri dalam kehidupan sehari-hari bahwa tangan kiri tidaklah kongruen dengan tangan kanan. Menurut Kant, konsep “tangan” di sini tidak cukup dipahami hanya dengan intuisi empiris, tetapi dalam intuisi empiris tersebut termuat abstraksi konsep “tangan” dan konsep “tidak kongkruen” diperoleh secara sintetis. Menurut Kant, proses ini dapat diterapkan untuk memahami konsep-konsep geometri.
C. IDENTIFIKASI
PERSOALAN FILOSOFIS PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH
Terdapat beberapa objek
budaya di Indonesia yang
dapat digunakan sebagai bahan
ajar pada pembelajaran
matematika, tetapi belum banyak dimanfaatkan untuk
pembelajaran di sekolah. Ada
pula objek budaya di Indonesia
yang dapat digunakan sebagai
bahan ajar pada pembelajaran
matematika khususnya materi
geometri, tetapi belum banyak dikembangkan
di sekolah.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar